Aktivis Mahasiswa Pertanyakan Proses Seleksi dan Kualitas SDM Komisioner KPU Kuningan di Tengah Kasus Dugaan Asusila

Kuningan – Terkuaknya kasus dugaan asusila yang melibatkan oknum Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) Kuningan berinisial NZ (30) terhadap rekan kerjanya, RK (25), kian menghebohkan publik. Insiden ini memicu kritik keras dari mahasiswa dan aktivis yang mempertanyakan profesionalitas serta kualitas proses seleksi dan pengawasan yang dilakukan oleh Komisioner KPU Kuningan.

Royhan, aktivis dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) UNIKU, dalam keterangannya kepada media menyatakan kekecewaannya atas kejadian ini dan mempertanyakan kemampuan KPU dalam menjaga kualitas moral SDM mereka. Ia dengan tegas mengkritik pola seleksi dan pengawasan yang menurutnya lalai dalam menjaga standar moral dan profesionalisme petugas pemilu. “Kasus ini bukan hanya memalukan, tetapi juga mempertanyakan model wawancara dan penilaian moralitas calon petugas oleh komisioner KPU. Apa kriteria mereka dalam memilih kandidat, dan mengapa orang yang dipertanyakan kredibilitasnya bisa lolos seleksi hingga ke tahap Bimtek?” ujar Royhan, Senin (28/10/24).

Royhan mengingatkan bahwa sejak awal tahapan seleksi sudah muncul kritik dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa yang mempertanyakan proses dan mekanisme seleksi di KPU Kuningan. Namun, saat itu, kritik tersebut disikapi dengan jawaban defensif dari pihak KPU, yang menyatakan bahwa pihaknya bekerja profesional dan mengimbau pengkritik, termasuk mahasiswa, untuk “tidak main opini, tetapi fokus pada bukti.” Kini, dengan adanya kasus ini, Royhan mempertanyakan kembali: “Apakah kejadian ini masih belum cukup bukti untuk mengevaluasi sistem seleksi dan pengawasan moral di KPU? Mengapa masih ada kasus mencoreng institusi padahal kritik sudah datang sejak awal?”

Tidak hanya itu, Royhan juga menyoroti keterbatasan kapasitas para komisioner KPU Kuningan dalam memahami dan menjalankan sistem kepenyelenggaraan yang sesuai dengan standar nasional. Menurutnya, sebagai penyelenggara pemilu, komisioner harus memiliki pemahaman mendalam tentang sistem dan mekanisme yang ada, bukan sekadar melaksanakan tugas secara administratif. “Miris sekali, negara sudah mengeluarkan anggaran besar untuk seleksi komisioner KPU yang seharusnya mampu menunjukkan kualitas unggul dalam menjalankan tugas mereka. Tapi yang terjadi di lapangan, produk kepemimpinan dan manajemen mereka jauh dari kata mumpuni,” kritik Royhan.

Kritik Royhan semakin tajam ketika menyinggung respons KPU Kuningan yang cenderung defensif terhadap kritik publik. Menurutnya, reaksi KPU yang meminta bukti dari para pengkritik terkesan menantang dan tidak mengakui kelemahan internal mereka. “Sudah beberapa kali KPU menanggapi kritik dengan meminta bukti dari masyarakat. Sekarang, apakah dengan kasus seperti ini masih kurang bukti bahwa ada yang salah dalam pengawasan mereka?” sindir Royhan.

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan selama acara Bimtek, yang seharusnya berada di bawah kendali KPU untuk memastikan keamanan dan kenyamanan semua peserta. “Jika di acara formal saja ada kejadian seperti ini, di mana posisi pengawasan KPU? Lembaga sebesar KPU seharusnya memiliki sistem pengawasan ketat yang mampu mencegah tindakan yang merugikan peserta,” ujarnya dengan nada prihatin.

Kejadian ini, menurut Royhan, berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap persepsi anak muda mengenai integritas KPU. “Kalangan muda yang bersemangat ingin berkontribusi untuk demokrasi bisa kehilangan minat dan kepercayaan akibat kasus ini,” tambahnya. Ia menegaskan bahwa KPU harus menyadari dampak yang lebih besar dari sekadar kasus individu, terutama dalam menjaga citra profesionalisme lembaga di mata generasi muda.

Royhan mendesak KPU Kuningan untuk berani melakukan refleksi dan membuka diri terhadap masukan publik, terutama dari mahasiswa yang kritis terhadap perbaikan sistem. “Kami berharap KPU tidak mengabaikan suara kritis ini dan mau membuka diri menerima masukan untuk meningkatkan mekanisme seleksi dan pengawasan,” ujarnya.

Ia juga berharap KPU segera memberikan klarifikasi yang transparan kepada publik agar kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan muda, bisa dipulihkan. “Klarifikasi ini bukan hanya untuk mengakhiri spekulasi, tapi juga untuk mengembalikan kepercayaan anak muda yang menginginkan lembaga demokrasi yang transparan dan profesional,” pungkasnya.

Dengan kasus ini, tampaknya tuntutan terhadap transparansi dan akuntabilitas Komisioner KPU Kuningan menjadi semakin nyata. Masyarakat, terutama mahasiswa, menunggu tindak lanjut yang serius dari KPU dalam meningkatkan standar perekrutan dan pengawasan, serta sikap terbuka dalam menerima kritik demi perbaikan lembaga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *