Diametermerah – Sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diterapkan, desa di Indonesia menikmati otonomi dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa. Sebagai konsekuensi, pemerintah pusat mengalokasikan dana desa mulai tahun 2015 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana tersebut disesuaikan dengan luas wilayah, jumlah penduduk, dan faktor lainnya untuk mendukung desa dalam membangun dan menciptakan sumber Pendapatan Asli Desa (PADes).
Namun, setelah sembilan tahun berjalan, harapan pemerintah bahwa dana desa dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui peningkatan PADes tampak tidak tercapai sepenuhnya. Data menunjukkan bahwa PADes cenderung stagnan, dengan peningkatan yang minim dari tahun ke tahun. Meskipun pemerintah telah menggelontorkan dana tambahan insentif dan berbagai program peningkatan kapasitas bagi pemerintah desa, kemajuan PADes tetap belum signifikan.
Permasalahan Pendapatan Asli Desa
Ketergantungan desa pada dana desa menunjukkan bahwa pendapatan asli desa belum cukup untuk mandiri. Bahkan, penghasilan perangkat desa sebagian besar masih bergantung pada alokasi dana desa (ADD) dari pemerintah daerah. Di Jogjakarta, ada desa yang pendapatan tahunan PADes-nya hampir mencapai sepuluh miliar rupiah, membuat penghasilan perangkat desa setara dengan eselon dua di tingkat kabupaten.
Menurut analisis yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), terdapat beberapa kendala utama, di antaranya:
Pembangunan yang Kurang Berimbang: APBDes seringkali menunjukkan ketidakseimbangan antara pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat. Pembangunan desa kerap tidak berbasis pada trigatra ketahanan nasional (geografi, demografi, dan sumber kekayaan alam) sehingga hasilnya tidak berdampak signifikan pada peningkatan PADes. Banyak program pembangunan desa masih berfokus pada usulan masyarakat terkait infrastruktur, yang meski penting, sering kali tidak menambah nilai PADes.
Pemanfaatan Trigatra Ketahanan Nasional yang Belum Maksimal: Setiap desa memiliki potensi trigatra ketahanan nasional, namun hingga kini belum dimanfaatkan optimal. Beberapa faktor penghambat, seperti:
Kekurangan Data Potensi: Pengelolaan data potensi desa seringkali belum terstruktur, seperti yang terlihat dalam penerapan Permendagri No. 3 Tahun 2024 tentang pengelolaan aset desa.
Kurangnya Sinkronisasi dan Koordinasi: Instansi pemerintah daerah sering kali tidak terkoordinasi dengan arah dan kebijakan pembangunan di tingkat desa, yang mengakibatkan ketidaksejajaran dalam arah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Peran BKAD sebagai Solusi
Permendagri No. 96 Tahun 2017 memperkenalkan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) yang memungkinkan desa-desa untuk bekerja sama dalam menggali potensi trigatra ketahanan nasional. Dengan adanya BKAD, desa diharapkan dapat memanfaatkan potensi lokal, seperti sumber daya manusia dan kekayaan alam, sehingga lebih mandiri dan tidak bergantung pada investor luar.
Oleh: Didin Rasidin, SE., MM.
Sekretaris Kecamatan Ciniru