Kuningan – Citra KPU Kabupaten Kuningan kembali tercoreng dengan dugaan skandal asusila yang dilakukan seorang oknum Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) berinisial NZ (30) terhadap rekan kerjanya, RK (25). Peristiwa ini tidak hanya memalukan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang kualitas seleksi dan pengawasan internal yang dijalankan KPU.
Kasus tersebut mencuat pada Minggu (20/10), di sebuah hotel di kawasan Panawuan-Sangkanurip, Kecamatan Cigandamekar. Dalam sesi akhir Bimbingan Teknis (Bimtek) yang diselenggarakan KPU Jawa Barat, NZ dilaporkan mendatangi kamar RK dan melakukan tindakan yang sangat tidak bermoral, mulai dari memeluk, mencium, hingga mencoba melepas hijab korban. Beruntung, korban berhasil mengamankan diri dengan mengunci diri di kamar mandi sebelum meminta bantuan.
Komisioner KPU Kuningan, Maman Sudiaman, mengonfirmasi insiden ini dan menyatakan bahwa pihaknya segera memanggil NZ untuk klarifikasi. “NZ mengakui perbuatannya, menyesal, dan menyatakan kesediaannya untuk mundur. Kasus ini sudah kami laporkan kepada pihak berwenang, dan korban telah melaporkannya ke Polres Kuningan,” ujar Maman
Namun, pernyataan penyesalan dari pelaku dan tanggapan reaktif KPU tampak seperti respons “pemadam kebakaran” yang hanya fokus pada masalah setelah terbakar. Publik mempertanyakan, bagaimana bisa seorang seperti NZ, dengan karakter yang demikian, lolos dalam seleksi menjadi bagian dari lembaga yang seharusnya menjaga integritas demokrasi?
Sadam Hussein, pemerhati Pemilu, mengkritik tajam sistem seleksi KPU yang dianggap terlalu lemah dan formalitas. “KPU adalah wajah demokrasi di mata masyarakat. Kalau sudah seperti ini, integritas dan kredibilitas KPU sendiri yang dipertaruhkan. Rekrutmen dan pengawasan internal harus diperbaiki total, atau kita akan terus melihat kejadian memalukan seperti ini terulang,” ungkap Sadam.
Skandal ini menyoroti kualitas seleksi personel di KPU, khususnya pada tahap wawancara yang dianggap publik sebagai hanya sebatas seremonial tanpa pengujian mendalam atas moralitas dan karakter kandidat. Dengan adanya insiden ini, publik bertanya: sejauh mana para komisioner KPU Kuningan benar-benar peduli dengan kualitas dan integritas orang-orang yang mereka angkat?
Kejadian ini menjadi tamparan keras bagi para komisioner KPU Kuningan yang terkesan tidak serius dalam menyeleksi personel. Bagi publik, mereka bertanggung jawab penuh atas masuknya oknum-oknum yang merusak kepercayaan terhadap lembaga Pemilu. Bagaimana bisa individu seperti NZ lolos tanpa ada deteksi dini akan potensi moralnya? Apakah wawancara hanya menjadi ajang basa-basi tanpa mempertimbangkan aspek psikologis dan etika?
Saat ini, KPU Kuningan menghadapi krisis kepercayaan yang serius. Selain memberi sanksi tegas pada pelaku, lembaga ini perlu melakukan evaluasi total, mulai dari proses rekrutmen hingga pelatihan internal. Tanpa perubahan mendalam, publik akan terus melihat KPU sebagai lembaga yang lemah dalam mempertahankan kredibilitasnya.
Publik berharap, KPU Kuningan dapat membersihkan diri dan membuktikan komitmen mereka dalam menjaga integritas penyelenggaraan Pemilu. Namun, jika mereka terus abai, jangan heran jika masyarakat tidak lagi menaruh kepercayaan pada lembaga ini. Sudah lah kasihan lembaga KPU ini kalau para komisioner tidak bisa memimpin, ya mundur sajah dari jabatanya. Hal demikian lebih terhormat.